Selasa, 22 Januari 2013

Proposal --> BAB II LANDASAN TEORI

BAB II
BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Belajar dan Pembelajaran Matematika
Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan, tetapi belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang sehingga muncul perubahan tingkah laku. Menurut Slameto,” belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk  memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.[1] Sedangkan menurut Hilgard dan Brower dalam Oemar Hamalik,” belajar sebagai perubahan dalam perbuatan melalui aktivitas, praktek, dan pengalaman”.[2] Kemudian menurut Oemar Hamalik,” Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman”.[3]
11
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan dalam diri seseorang, seperti bertambahnya pengetahuan dan perubahan tingkah laku melalui pengalaman mereka. Selain itu belajar juga memiliki beberapa prinsip, menurut Oemar Hamalik ada 8 prinsip belajar-mengajar yaitu:
a.       Belajar senantiasa bertujuan yang berkenaan dengan pengembangan perilaku siswa
b.      Belajar didasarkan atas kebutuhan dan motivasi tertentu
c.       Belajar dilaksanakan dengan latihan daya-daya, membentuk hubungan asosiasi, dan reorganisasi pengalaman
d.      Belajar bersifat keseluruhan yang menitikberatkan pemahaman, berpikir kritis, dan reorganisasi pengalaman
e.       Belajar membutuhkan bimbingan, baik secara langsung oleh guru maupun secara tak langsung melalui bantuan pengalaman pengganti
f.       Belajar dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu dan faktor dari luar diri individu.[4]

Prinsip belajar diatas dapat kita jadikan dasar dalam melaksanakan kegiatan mengajar. Kegiatan mengajar yang baik akan menghasilkan hasil belajar yang baik juga sehingga proses belajar akan lebih bermakna.
Belajar yang efektif sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kondisional yang ada. Menurut Oemar Hamalik, ada 10 faktor dalam belajar yaitu;
a.       Faktor kegiatan, penggunaan dan ulangan; siswa yang belajar melakukan banyak kegiatan baik kegiatan neural system, seperti melihat, mendengar, merasakan, berpikir, kegiatan motoris, dan sebagainya maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan, sikap, kebiasaan dan minat.
b.      Belajar memerlukan latihan dengan jalan: relearning, recalling, dan reviewing agar pelajaran yang terlupakan dapat dikuasai kembali dan pelajaran yang belum dikuasai akan dapat lebih mudah dipahami.
c.       Belajar siswa lebih berhasil, belajar akan lebih berhasil jika siswa merasa berhasil dan mendapatkan kepuasannya.
d.      Siswa yang belajar perlu mengetahui apakah ia berhasil atau gagal dalam belajarnya.
e.       Faktor asosiasi besar manfaatnya dalam belajar, karena semua pengalaman belajar antara yang lama dengan yang baru, secara berurutan diasosiasikan, sehingga menjadi satu kesatuan pengalaman.
f.       Pengalaman masa lampau (bahan apersepsi) dan pengertian-pengertian yang telah dimiliki oleh siswa, besar peranannya dalam proses belajar.
g.      Faktor kesiapan belajar.
h.      Faktor minat dan usaha.
i.        Faktor-faktor fisiologis.
j.        Faktor intelegensi.[5]

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa proses belajar tidak hanya dilakukan secara instan, tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya baik itu berdasarkan pengalaman, lingkungan, kondisi dan faktor dari dalam diri sendiri.
Menurut konsep komunikasi, pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadikan kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan.[6] Komunikasi yang tidak baik dapat menciptakan perubahan sikap dan pola pikir yang tidak baik pula,  untuk itu para pendidik diharapkan mampu mengayomi, membimbing dan memberikan contoh yang baik kepada peserta didik.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses belajar yang terjadi dengan        menekankan interaksi antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa sehingga terjadi perubahan baik itu dari sikap dan pola pikir siswa.
Berdasarkan etimologi “Perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar”. Hal ini dimaksudkan bukan berarti ilmu diperoleh dengan bernalar akan tetapi matematika lebih menekankan aktifitas dalam dunia rasio(penalaran) sedangkan ilmu lain lebih menekankan pada hasil observasi atau eksperimen disamping penalaran.[7] Aktifitas penalaran maksudnya matematika bukan hanya dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan akan tetapi matematika dapat menciptakan solusi yang baik terhadap permasalahan tersebut. Solusi dari permasalahan tersebut melibatkan aktifitas dalam dunia rasio(penalaran).
Dalam kamus matematika menyatakan, matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi menjadi tiga bidang Aljabar, Analisis dan Geometri.[8]  Ketiga bidang matematika yaitu Aljabar, Analisis dan Geometri saling berkaitan dan bergantung satu sama lain. Ketergantungan antara ketiga bidang matematika tersebut mengakibatkan matematika menjadi ilmu yang selalu mengikuti perkembangan zaman.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Interaksi ini menitik beratkan pada aktifitas dalam dunia rasio (penalaran) dan logika agar menciptakan pertumbuhan dan perkembangan secara utuh dalam program  belajar. Sehingga mengubah pola pikir siswa dalam belajar matematika.
Matematika memiliki nilai-nilai pendidikan yang akan menuntun kepada tujuan pengajaran . Matematika harus dapat dipahami oleh siswa secara lengkap. Untuk itu guru diharapkan percaya dengan kemampuan siswa. Fokus utama dari pembelajaran bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi prosesnya itu sendiri.
Adapun tujuan pembelajaran matematika menurut Standar Isi Mata Pelajaran Matematika adalah:
a.       Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat, dalam pemecahan masalah.
b.      Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c.       Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d.      Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e.       Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.[9]
Berdasarkan tujuan Matematika yang diuraikan diatas, pada intinya sama yaitu untuk mempersiapkan siswa mampu menghadapi dunia yang selalu berkembang dan untuk mempersiapkan siswa agar mampu menggunakan Matematika dalam kehidupan sehari-hari.
B.     Berpikir dan Berpikir Kritis
Berpikir merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh manusia sejak mulai mengenal lingkungan sekitarnya, kemampuan manusia  dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat bergantung  kepada kemampuan berpikirnya, sejalan dengan yang  disampaikan Purwanto (1998) yang  menyebutkan bahwa  berpikir merupakan daya saing yang paling utama. Berpikir merupakan suatu proses yang mempengaruhi penafsiran terhadap ransangan-ransangan yang melibatkan proses sensasi, persepsi, dan memori (Sobur, 2003).
DePorter  dan Hernacki  (1999, 296) membedakan cara  berpikir manusia menjadi beberapa bagian, yaitu: berpikir vertikal, lateral, berpikir kritis, berpikir analitis, berpikir strategis, berpikir tentang  hasil, dan kreatif. Sementara, Presseisen (Liliasari, 1996) membedakan kemampuan berpikir menjadi dua bagian yaitu kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar merupakan gambaran dari proses berpikir rasional dan esensial, meliputi menentukan hubungan sebab  akibat, melakukan transformasi, menemukan hubungan,  memberikan  kualifikasi, dan membuat  klasifikasi.
Sedangkan yang  termasuk ke  dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kreatif (creative thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berdasarkan  pengertian-pengertian berpikir di atas maka dapat disimpulkan bahwa  berpikir adalah kegiatan yang melibatkan akal, dan panca indera untuk mengolah informasi dan membuat keputusan.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran  matematika, salah  satunya  adalah berpikir kritis. Pengertian berpikir kritis diungkapkan oleh Norris (Fowler, 1996) bahwa  berpikir kritis adalah proses pengambilan  keputusan secara  rasional atas apa  yang diyakini  dan dikerjakan. Sedangkan Swartz  dan Perkins (Hassoubah, 2004) mengemukakan bahwa berpikir kritis itu meliputi empat hal berikut:
a.    Bertujuan untuk mencapai penilaian yang  kritis  terhadap  apa  yang  akan kitaterima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan yang logis.Memakai standar penilaian
b.    sebagai hasil  dari berpikir kritis dalam membuat keputusan.
c.    Menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan  untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut.
d.   Mencari dan menghimpun informasi yang  dapat dipercaya  untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian.
Berpikir kritis sangat diperlukan oleh setiap orang terutama untuk menyikapi permasalahan yang  timbul  dalam realita kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan tidak  bisa dihindari. Mengingat begitu pentingnya  memiliki kemampuan berpikir kritis, maka sudah selayaknya kita berusaha mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dalam rangka mengembangkan kemampuan tersebut Ennis (2000) mendefinisikan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang  apa  yang  harus  dipercayai atau dilakukan.
Beralasan berarti memiliki keyakinan dan pandangan yang  didukung  oleh bukti  yang  tepat, aktual, cukup, serta  relevan. Reflektif  artinya  mempertimbangkan secara  aktif, tekun, dan berhati-hati atas segala alternatif sebelum  mengambil sebuah keputusan. Selanjutnya Ennis (Hassoubah, 2004) juga mengungkapkan terdapat 12 indikator keterampilan berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi lima kelompok berpikir, yaitu:
a.    Memberikan penjelasan sederhana meliputi:
1) memfokuskan pertanyaan,
2) menganalisis argument,
3) bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan.
b.    Membangun keterampilan dasar yang meliputi:
1)  mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber,
2)  mengobservasi atau mempertimbangkan hasil observasi.
c.    Menyimpulkan yang meliputi:
1) membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi,
2) membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi,
3) membuat keputusan dan mempertimbangkan hasilnya.
d.   Memberikan penjelasan lebih lanjut, meliputi:
1) mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi
2) mengidentifikasi asumsi.
e.    Mengatur strategi dan taktik, yang meliputi:
1) memutuskan suatu tindakan,
2) berinteraksi dengan orang lain.

Penjelasan mengenai kelima indikator kemampuan berpikir kritis tersebut selengkapnya disajikan dalam tabel berikut ini (Syukur, 2004).
Keterampilan berpikir kritis
Sub keterampilan berpikir kritis
Penjelasan
Elementary Clarification
(memberikan penjelasan sederhana)
1.Memfokuskan pertanyaan
a.       Mengidentifikasi/ merumuskan pertanyaan
b.      Mengidenifikasi kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin.
c.       Memelihara kondisi dalam keadaan berpikir.

C.              Menganalisis
argumen
a.    Mengidentifikasi kesimpulan
b.    Mengidentifikasi alasan (sebab) yang tidak dinyatakan (implisit)
c.    Mengidentifikasi alasan (sebab) yang dinyatakan (eksplisit)
d.   Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan kerelevanan
e.    Mencari persamaan dan perbedaan
f.     Mencari struktur dari suatu argument.
g.    Membuat ringkasan

D.  Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan
a.    Mengapa demikian
b.    Apa intinya, dan apa artinya
c.    Yang mana contoh dan mana yang bukan contoh
d.   Bagaimana menerapkannya dalam kasus tersebut Perbedaan apa yang menyebabkannya
e.    Akankah anda menyatakan lebih dari itu
Basic Support (membangun keterampilan dasar)
E.   Mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber.

a.       Ahli
b.      Tidak adanya conflict interest
c.       Kesepakatan antar sumber
d.      Reputasi
e.       Menggunakan prosedur yang ada
f.       Mengetahui resiko
g.      Kemampuan memberikan alasan
h.      Kebiasaan hati-hati

F.Mengobservasi dan mempertmbangkan hasil observasi
a.    Ikut terlibat dalam menyimpulkan
b.    Dilaporkan oleh pengamat sendiri
c.    Mencatat hal-hal yang diinginkan Penguatan
d.   Kondisi akses yang baik
e.    Penggunaan teknologi yang kompeten
f.     Kepuasan observer atas kredibilitas sumber
Inference (menyimpulkan)
G.    Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi
a.    Kelompok logis
b.    Kondisi yang logis
c.    Interpretasi pernyataan.

H.    Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
a.    Membuat generalisasi
b.    Membuat kesimpulan dan hipotesis

I.  Membuat keputusan dan mempertimbangkan hasilnya.
a.    Latar belakang fakta
b.    Konsekuensi
c.    Penerapan prinsip- prinsip
d.   Memikirkan alternative
e.    Menyeimbangkan, memutuskan
Advance Clarification (memberikan penjelasan lebih lanjut)
J.     Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi

a.    Bentuk: sinonim, klarifikasi, rentang ekspresi yang sama
b.    Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi persamaaan)
c.    Isi (content)
Strategy and Tactics (mengatur strategi dan taktik)
K.   Mengidentifikasi
Asumsi.
a.    Penalaran secara implicit
b.    Asumsi yang diperlukan, rekonstruksi argument

L.    Memutuskan suatu tindakan
a. Mengidentifikasi masalah
b.Menyeleksi kriteria untuk membuat solusi
c. Merumuskan alternatif yang memungkinkan.
d.   Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan secara tentative
e. Melakukan review
f. Memonitor implementasi 

M.  Berinteraksi dengan orang lain


Glazer mengatakan bahwa berpikir kritis dalam matematika secara epistimologi berbeda dengan berpikir kritis dalam domain lainnya (Maulana, 2006), sehingga perlu pembahasan untuk menarik hubungan antara penelitian dan implikasinya dalam pendidikan matematika. Menurut Pascarella dan Terenzini (Mayadiana, 2005) berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan individu untuk menginterpretasikan, mengevaluasi, dan menyusun penilaian tentang ketercukupan argumen, data, dan kesimpulan.
Sedangkan Resnick (Mayadiana, 2005) menghubungkannya dengan kemampuan yang di dalamnya menyertakan alternatif dan penyederhanaan strategi untuk menyelesaikan masalah non-rutin.
Glazer (Maulana, 2006) mendefinisikan berpikir kritis dalam matematika sebagai kemampuan matematika untuk menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematik, dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan atau mengevaluasi situasi matematik yang familiar secara reflektif. Sehingga jika dijabarkan, maka kondisi untuk berpikir kritis harus memuat hal-hal berikut :
a.    Permasalahan  yang  sifatnya  non-rutin, atau dengan  kata  lain individu tidak dapat secara langsung mengetahui solusi yang digunakan untuk menyelesaikan suatu persoalan.
b.    Menggunakan pengetahuan awal, penalaran matematik, dan strategi dalam menyelesaikan suatu persoalan.
c.    Melakukan kegiatan generalisasi, pembuktian dan evaluasi.
d.   Mengkomunikasikan solusi, dan mencari alternative solusi untuk menjelaskan suatu konsep atau menyelesaikan suatu persoalan.
Berdasarkan indikator-indikator keterampilan berpikir kritis beberapa diantaranya yang berhubungan dengan pembelajaran matematika, maka indicator yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1)  Focus, memfokuskan pertanyaan, mengidentifikasi,  merumuskan  dan  mempertimbangkan jawaban yang mungkin, (2) Reason, mampu memberikan alasan pada jawaban yang diberikan, (3) Inference, membuat kesimpulan, (4) Situation, mampu menjawab soal sesuai konteks, menerjemahkan situasi ke dalam bahasa matematika, (5) Clarify, mampu membuat klasifikasi atau membedakan konsep dengan jelas tanpa menimbulkan ambiguitas, (6) Overview, melakukan tinjauan kembali atas jawaban, keputusan atau kesimpulan yang telah ditetapkan sebelumnya. (Ennis dalam Tresnawati, 2006: 17).
C.       Model Quantum Learning
Model atau metode pembelajaran adalah cara atau gaya yang digunakan baik oleh guru dalam mengajar maupun oleh siswa dalam belajar. Quantum Learning adalah salah satu model pembelajaran yang  memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orchestra simfoni, model ini adalah model baru yang  memudahkan  proses belajar, memadukan unsur seni dan  pencapaian yang terarah, untuk segala mata pelajaran. Menurut DePorter, Quantum Learning adalah penggubahan belajar yang  meriah, dengan segala  nuansanya, dan menyertakan  segala  kaitan, interaksi, dan perbedaan  yang memaksimalkan momen belajar (DePorter, 1999).
Pembelajaran Quantum Learning pertama kali dikenalkan pada program perkemahan yang dikenal sebagai SuperCamp. Ada tiga keterampilan dasar yang  diajarkan pada  program SuperCamp tersebut yaitu keterampilan akademis, prestasi fisik, dan keterampilan hidup. Metode belajar yang digunakan menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP (Neuro Linguistik  Programming) serta  teori dan strategi belajar yang  lain, misalnya  teori belajar otak kanan/kiri, gaya  belajar  berdasarkan modalitas VAK (visual, auditori, kinestetik).
Pelaksanaan pembelajaran Quantum Learning memandang penciptaan lingkungan belajar yang kondusif sangat berperan dalam mendukung proses belajar agar berlangsung menarik, menyenangkan, efektif, dan menjadi mudah dipahami oleh siswa. Menurut DePorter (1999: 8) pada dasarnya manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk melampaui kemampuan yang diperkirakan, karena manusia memiliki potensi yang  belum  tergali  dan terasah, untuk  dapat menggali potensi secara optimal maka dibutuhkan lingkungan belajar yang mendukung proses belajar sehingga dapat meransang siswa aktif menggali potensi yang dimilikinya. Penciptaan ruang atau lingkungan belajar yang menyenangkan, kondusif, dan membangun sugesti dapat dilakukan dengan melakukan beberapa cara, misalnya dengan memutar musik klasik di  dalam kelas, memasang  poster afirmatif, mengatur tempat duduk  siswa secara nyaman, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Demikian pula halnya yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SuperCamp, hasilnya ternyata sangat memuaskan menurut DePorter (1999: 4) dengan menerapkan model Quantum Learning dalam kegiatan pembelajaran di SuperCamp telah berhasil meningkatkan motivasi 68%, meningkatkan nilai hasil belajar sebesar 73%, meningkatkan rasa percaya diri sebesar 81%, meningkatkan harga  diri 84%,  dan  meningkatkan keterampilan siswanya sebesar 98%. Sedangkan menurut Sudrajat (2008:1) Quantum Learning adalah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat  mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat.
Pada prinsipnya model Quantum Learning menuntut guru untuk dapat menciptakan suasana yang kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. DePorter memandang Quantum  Learning sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi, yang dianalogikan  dengan meminjam teori relativitas Albert Eintsein:
E = mc2
Keterangan:
E = energi (antusiasme, efektifitas belajar-mengajar, semangat).
m = massa (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik).
c = interaksi (hubungan yang tercipta dalam kelas).
Berdasarkan persamaan tersebut, maka  dapat disimpulkan bahwa  interaksi proses pembelajaran yang tercipta sangat berpengaruh besar terhadap efektifitas dan antusiasme siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, dengan menciptakan interaksi yang positif dalam  kegiatan pembelajaran, maka akan membantu meningkatkan hasil belajar siswa menjadi lebih optimal.

D.Prinsip Dasar dan Langkah Pembelajaran Model Quantum Learning
            Quantum Learning memiliki prinsip-prinsip dasar yang  harus diperhatikan sebagai berikut:
a.      Belajar melibatkan  seluruh pikiran dan tubuh. Belajar  tidak hanya menggunakan otak (sadar, rasional, memakai otak kiri, dan verbal) tetapi juga melibatkan seluruh tubuh, pikiran dengan segala emosi, indra, dan sarafnya.
b.      Belajar adalah berkreasi bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang  diserap untuk pembelajar, melainkan  sesuatu yang  diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika terjadi proses masuknya pengetahuan baru pada  seseorang, atau dapat dikatakan menciptakan makna  baru dalam dirinya.
c.      Kerja  sama dapat membantu proses belajar. Semua  usaha belajar yang  baik mempunyai landasan sosial. Kita biasanya  belajar lebih banyak dengan berinterksi dengan orang  lain. Persaingan diantara  siswa  memperlambat pembelajaran. Sedangkan kerjasama  antara  mereka  akan mempercepat pembelajaran, semua komunitas belajar akan cenderung  lebih baik hasilnya daripada beberapa individu yang belajar sendiri-sendiri.
d.     Pembelajaran berlangsung  pada  banyak tingkatan secara simultan. Belajar bukan hanya  sekedar menyerap  satu hal kecil  pada  satu waktu, melainkan menyerap banyak hal sekaligus pada  waktu yang  bersamaan. Pembelajaran yang baik melibatkan orang  pada  banyak tingkatan secara simultan  dan memanfaatkannya.
e.      Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan sendiri, belajar yang  paling  baik adalah belajar dalam konteks.
f.       Emosi  positif dapat sangat membantu  proses pembelajaran, perasaan menenukan kualitas dan kuantitaf.
g.      Otak menyerap informasi secara langsung dan otomatis, sistem saraf manusia lebih sensistif terhadap rangsang ke mata dibandingkan ke telinga.
                        Kemudian prinsip-prinsip dasar tersebut dapat dirangkum menjadi 5 prinsip dasar yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kegiatan pembelajaran, yaitu:
a.       Everything speaks, maksudnya  belajar  dengan melibatkan seluruh bagian dari diri, tidak hanya  menggunakan otak tetapi juga panca  indera  danemosi.
b.      Everything is on purpose,segala sesuatu yang dilakukan dalam proses pembelajaran selalu dilakukan dengan berdasarkan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
c.       Experience before label, memberikan keleluasaan bagi siswa  untuk mengkonstruksi pengetahuannya  sendiri dengan menyerap pengetahuan baru dan  menggabungkan atau menghubungkannya dengan  pengetahuan yang dimilki siswa sebelumnya. Karena  kegiatan belajar akan menjadi lebih baik jika siswa mendapatkan pengalamannya sendiri, sehingga dalam pembelajaran ini siswa diharapkan dapat mengembangkan kemampuannya meliputi pemahaman konsep,  meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti berpikir  kritis dan kreatif, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna.
d.      Acknowledge every effort, memberikan motivasi dan penghargaan atas segala usaha  yang  dilakukan siswa  dalam belajar, serta member penguatan mengenai pengetahuan yang diperoleh siswa.
e.       If it's worth learning, it's worth celebrating,  hargai  siswa atas usahanya dalam belajar dengan memberikan reward bisa dalam bentuk hadiah ataupun nilai tambahan. Hal ini  bertujuan agar tercipta suasana  kondusif dan menyenangkan dalam kegiatan pembelajaran, serta  siswa  nantinya akan terpacu  untuk lebih baik lagi dalam memahami materi yang diajarkan.
            Jika kelima prinsip dasar Quantum Learning itu dijabarkan dalam langkah kegiatan pembelajaran, maka  menurut Bakir (2011) desain pembelajaran berupa langkah-langkah kegiatan pembelajaran Quantum Learning dapat dibagi menjadi 6 langkah pembelajaran.
Tabel 2.2
Langkah Belajar Model Quantum Learning
Langkah pembelajaran Quantum Learning  
Hasil pembelajaran yang diharapkan
B.  Grow

Diharapkan siswa mampu mengetahui dan mengeksplorasi tujuan dari pembelajaran,
sehingga siswa merasakan pentingnya materi yang akan disampaikan.
2. Natural

Aspek yang memberikan pengalaman belajar kepada siswa, Guru mendorong siswa untuk mempelajari pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang terlebih dahulu telah dimiliki siswa
3. Call

Penamaan atau pelabelan terhadap pengetahuan baru yang didapatkan oleh siswa, diharapkan siswa mampu mengidentifikasi informasi yang baru
4. Demonstrate
Diharapkan pada proses ini siswa mampu mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperolehnya dalam menghadapi persoalan dengan berbagai kondisi
5. Repeat
Pengulangan atau proses penguatan
kembali materi pembelajaran yang
diperoleh siswa oleh guru, diharapkan
siswa telah benar-benar yakin bahwa
dirinya telah menguasai dan
memahami konsep yang sebelumnya
dipelajari
6. Celebrate

Penutup berupa penghargaan atas upaya belajar siswa, bertujuan untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa dan membangun emosi positif

E. Penataan Lingkungan Belajar pada Quantum Learning
Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif nyaman, dan menyenangkan yang dapat mendukung interaksi dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan melakukan penataan pada lingkungan belajar. Penataan lingkungan belajar yang nyaman dalam pembelajaran Quantum Learning dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
a.    Membangun emosi positif, menurut Frederickson (Hernowo dalam Purnamasari, 2009) terdapat empat keadaan yang dapat menciptakan emosi positif yaitu joy (keceriaan), interest (ketertarikan), contentment (kepuasan), dan love (cinta kasih).
b.    Memutar music di dalam kelas ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Memutar musik adalah cara efektif untuk menyibukkan otak kanan dengan aktivitas-aktivitas otak kiri (DePorter, 1999: 72). Sebuah studi di University of Berlin menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa musik dapat membuat siswa mudah dikondisikan sehingga suasana kelas menjadi lebih kondusif untuk belajar.
c.    Memasang poster-poster afirmatif pada dinding kelas, kalimat-kalimat positif yang terdapat dalam poster akan memberikan ransangan visual yang mengingatkan siswa bahwa dirinya memilki potensi yang istimewa dan harus digali dan dikembangkan.
d.   Memberikan penghargaan, menurut Priyatmono (Purnamasari, 2009: 22) secara psikologis siswa akan merasa termotivasi untuk mempelajari sesuatu termasuk pelajaran jika guru pandai mengatur penghargaan sekalipun pelajaran yang ditakuti seperti matematika. Bentuk pemberian penghargaan akan membuat siswa bangga, percaya diri, bahagia, dan membangkitkan rasa optimisnya.

F.     Gaya Belajar VAK (Visual Auditori Kinestetik)
Model Quantum Learning sangat memperhatikan gaya belajar yang digunakan siswa dalam menerima dan mengolah informasi. Quantum Learning sangat memperhatikan kemampuan siswa bagaimana cara siswa  menyerap informasi dengan lebih mudah atau lebih dikenal dengan modalitas belajar siswa, salah satu model gaya belajar yang digunakan dalam pembelajaran Quantum Learning adalah gaya belajar VAK (Visual Auditori Kinestetik) yang menggunakan tiga modalitas belajar, yatu modalitas visual (belajar dengan melihat), modalitas auditori (belajar dengan mendengar), dan modalitas kinestetik (belajar dengan bergerak, mencoba). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Vernon Magnesen (DePorter, 1999: 57) menyebutkan bahwa manusia belajar dengan 10% dari apa yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 79% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masing- masing individu belajar dengan menggunakan modalitas dan tentunya gaya yang berbeda-beda. Sehingga langkah pertama yang harus dilakukan agar proses pembelajaran berlangsung dengan lebih efektif adalah dengan mengenali modalitas yang digunakan siswa dalam menyerap dan mengolah informasi. Walaupun pada dasarnya tiap individu menggunakan seluruh indera yang dimilikinya dalam menyerap informasi, Bandler dan Grinder (Deporter, 1999: 112) mengungkapkan bahwa  setiap individu memiliki modalitas yang lebih dominan dari modalitas lain dalam penggunaannya menyerap informasi, meskipun kebanyakan dari mereka memiliki ketiga modalitas VAK tersebut.
Meskipun individu tersebut memiliki modalitas belajar yang dominan yang lebih sering digunakan dan menyerap dan mengolah informasi, bukan berarti yang dua ainnya tidak baik digunakan karena semakin banyak modalitas belajar yang dilibatkan dalam belajar secara bersamaan, maka kegiatan belajar akan semakin hidup, melekat, dan lebih bermakna sehingga akan mempercepat siswa dalam mengolah informasi baru yang didapatkannya dari hasil belajar. Masing-masing modalitas memiliki ciri atau perbedaan yang mendasar satu sama lain. Berikut ini  adalah penjelasan mengenai ciri dan perbedaan masing- masing modalitas:
a.       Visual
Siswa dengan modalitas visual yang lebih dominan akan menggunakan citra visual atau apa yang dilihatnya untuk menyerap informasi. Modalitas visual dibedakan menjadi dua berdasarkan cara menyerap informasi, yaitu visual- linguistik yang menyukai belajar melalui penulisan bahasa seperti membaca dan menulis, individu dengan modalitas ini akan lebih mudah menyerap informasi dengan cara membaca dan menulis. Selanjutnya adalah visual-spasial yaitu mereka yang lebih menyukai bagan alur, video visual, atau diagram daripada tulisan untuk mempermudahnya menyerap informasi.
Berikut ini adalah ciri-ciri siswa yang menggunakan modalitas visual :
1)        Teratur, selalu memperhatikan segala sesuatu, dan menjaga penampilan.
2)        Mengingat dengan menggunakan gambar, lebih suka membaca daripada dibacakan.
3)        Membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan selalu menangkap detail.
4)        Selalu memperhatikan gerak bibir guru ketika menjelaskan.
5)        Akan memperhatikan pekerjaan teman yang lain sebelum mengambil tindakan.
6)        Kurang aktif berbicara dalam kelompok, dan kurang menyukai jika diminta untuk mendengarkan orang lain berbicara.
7)        Kurang baik dalam mengingat informasi yang diberikan secara lisan.
8)        Lebih menyukai melihat peragaan daripada mendengarkan penjelasan secara lisan, dan dapat duduk tenang di tengah situasi yang ramai tanpa merasa terganggu.
b.      Auditoria
Siswa dengan modalitas auditori yang dominan, akan lebih mudah menyerap informasi melalui media bunyi yang berhubungan dengan pendengarannya. Ciri-ciri siswa dengan modalitas auditori adalah:
1)   Perhatiannya mudah terpecah, terlebih jika suasana di sekitarnya ramai.
2)   Berbicara dengan pola yang berirama.
3)   Belajar dengan cara mendengarkan dan menggerakkan bibir atau berbicara.
4)   Mampu mengingat dengan baik informasi yang disampaikan secara lisan, aktif dalam diskusi.
5)   Kurang menyukai tugas membaca, dan pada umumnya bukanlah pembacayang baik.
6)   Kurang baik dalam mengingat dan menyimpulkan sesuatu yang baru dibacanya.
c.       Kinestetik
          Siswa dengan modalitas kinestetik yang lebih dominan menyerap informasi dengan melakukan kegiatan secara fisik. Berikut ciri-ciri siswa dengan modalitas kinestetik:
1)  Menyentuh orang, berdiri berdekatan, dan banyak bergerak.
2)  Belajar dengan melakukan kegiatan fisik, atau dengan mencoba sesuatu.
3)  Mengingat sambil berjalan dan melihat.
4)  Sulit untuk berdiam diri, cenderung  menggunakan gerakan tubuh untuk mengungkapkan atau mengekspresikan sesuatu.
5)  Memiliki koordinasi tubuh yang baik.
6)  Senang menggunakan objek yang nyata sebagai alat bantu dalam belajar.
7)  Kurang baik dalam mempelajari hal yang sifatnya abstrak.
Karena tiap siswa memiliki gaya belajar dan modalitas yang berbeda, maka proses pembelajaran yang berlangsung haruslah memperhatikan modalitas yang dimiliki tiap siswa.
Hal-hal berikut dapat dilakukan guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang memperhatikan gaya belajar siswa berdasarkan modalitas dominan yang dimilikinya.
Tabel 2.3
Penerapan Gaya Mengajar Sesuai Modalitas Siswa
DePorter (1999, 85)
Visual
Auditorial
Kinestetik
a.    Gunakan kertas tulis dengan tulisan berwarna, grafik, bagan alir, dan gambar visual lainnya.
b.    Dorong siswa untuk menggambarkan informasi yang diperolehnya dengan menggunakan diagram, atau peta pikiran.
c.    Sediakan ruang kosong pada lembar kerja untuk mencatat.
d.   Tekankan setiap kata kunsi konsep.
e.    Gunakan bahasa sismbol dalam presentasi yang dapat mewakili konsep kunci.
a.     Gunakan variasi vocal dalam memberikan penjelasan materi secara singkat.
b.     Lakukan pengulangan dan minta siswa untuk menyebutkan kembali kata konsep tentang materi yang tengah dipelajari.
c.     Setelah tiap segmen pelajaran minta siswa untuk menjelaskannya kembali dengan menggunakan bahasanya sendiri.
d.    Lakukan aktifitas auditorial seperti diskusi kelompok.
e.     Biarkan setiap siswa mengungkapkan pertanyaan, tanggapan atau ide lainnya mengenai materi pelajran yang sedang berlangsung.
f.      Bangun dialog antar siswa-guru dan siswa-siswa
a.    Gunakan media atau alat bantu dalam kegiatan pembelajaran agar memancing rasa ingin tahu siswa.
b.   Ciptakan stimulasi konsep.
c.    Peragakan konsep sambil memberi kesempatan pada siswa untuk mempelajarinya.
d.   Biarkan siswa bergerak aktif di dalam kelas.
e.    Gunakan warna yang mencolok dalam
menuliskan kata kunci konsep pada lembar kerja.
f. Berikan selingan pembelajaran berupa
olahraga otak.
g.     Tuntun siswa untuk melakukan tugas yang menantang dan cukup
berat.

Jadi, dengan memperhatikan modalitas belajar yang dimiliki siswa, guru diharapkan dapat memaksimalkan modalitas belajar tersebut sehingga dapat membuat kegiatan belajar berlangsung lebih efektif, dengan menggunakan kombinasi modalitas dalam belajar akan mempermudah siswa menyerap, dan mengolah informasi yang diperoleh selama mengikuti proses pembelajaran sehingga diharapkan hasil belajar yang diperoleh pun menjadi lebih baik dan lebih bermakna.
G.    Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional didefinisikan oleh para ahli dengan bahasa yang berbeda-beda namun intinya tetap sama. Menurut Sudaryo (1990) bahwa “secara tradisional (konvensional) mengajar diartikan sebagai upaya penyampaian atau penanaman pengetahuan pada anak”. Dalam pengertian ini anak dipandang sebagai obyek yang sifatnya pasif, pengajaran berpusat pada guru (teacher oriented ) dan guru memegang peranan utama dalam pembelajaran. Dalam pengajaran ini guru mengkomunikasikan pengetahuannya kepada siswa dengan teknik ekspositori. Menurut St. Vembriarto (1990), pengajaran tradisional adalah pengajaran yang diberikan pada siswa secara bersama-sama. Sedangkan menurut Ruseffendi, pengajaran tradisional adalah pengajaran yang pada umumnya biasa kita lakukan sehari-hari”.[10]
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional adalah peembelajaran yang diberikan oleh guru kepada sejumlah murid secara bersama-sama dengan cara yang telah biasa dipakai. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui metode ekspositori, dengan harapan siswa dapat memahaminya dengan baik.
 Menurut Erman Suherman dkk,
“metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan kepada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus menerus berbicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Murid tidak hanya mendengar dan membuat n catatan, tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak mengerti.”[11]
Sedangkan menurut R.Ibrahim dan Nana Syaodih S, mengajar secara ekspositori adalah kegiatan belajar yang bersifat menerima.[12] Pada tahap perencanaan maupun pada pelaksanaan mengajar guru berperan lebih aktif, lebih banyak melakukan aktivitas dibandingkan siswa-siswanya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metode ekspositori yaitu metode yang diawali dengan menerangkan materi, memberikan contoh soal kemudian siswa diberikan latihan.
Pembelajaran Konvensional lebih banyak memanfaatkan gaya belajar Auditorial saja karena dalam prosesnya guru yang lebih aktif sedangkan siswa mendengarkan penjelasan guru. Cara belajar seperti ini dapat menguntungkan sekali bagi siswa yang belajar dengan gaya Auditorial, namun siswa yang belajar dengan gaya Visual dan Somatis/Kinestetik merasa kurang nyaman dengan pembelajaran seperti itu. Kerena pendekatan SAVI menghargai perbedaan gaya belajar siswa, diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut sehingga hasil belajar dapat ditingkatkan. 
H.    Hasil Belajar
Hasil belajar adalah suatu yang diperoleh setelah melakukan kegiatan pembelajaran dan menjadi indikator keberhasilan seorang siswa dalam mengikuti pembelajaran. Setelah proses belajar, siswa memperoleh pengetahuan yang dapat mengubah tingkah laku mereka.
Menurut William Burton “hasil-hasil belajar diterima oleh murid apabila memberi kepuasan pada kebutuhannya dan berguna dan bermakna baginya”.[13]  Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Perubahan yang terjadi pada siswa dapat berupa pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap. Hasil belajar yang dicapai diharapkan mempunyai efek yang bagus terhadap minat dan bakat siswa. Hasil belajar dapat diperoleh dengan mengadakan evaluasi dan penilaian, dimana evaluasi merupakan proses dari hasil belajar yaitu berupa tes.
Hasnawati menyebutkan, “ evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan( aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif) dan pengalamannya (aspek psikomotor)”.[14] Sedangkan menurut Benjamin S.Bloom dalam Hasnawati,” taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengaju kepada tiga jenis doNilain(=daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu (1) ranah proses berpikir (cognitive doNilain), (2) ranah nilai atau sikap (affective doNilain), dan (3) ranah keterampilan (psychomotor doNilain).[15]
a.    Ranah Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk ke dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang dimaksud adalah:
a.       Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge)
b.      Pemahaman (comprehension)
c.       Penerapan (application)
d.      Analisis (analysis)
e.       Sintesis (synthesis)
f.       Penilaian (evaluation)
b.   Ranah Afektif
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku; seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran Matematika, disiplin dan motivasi belajarnya, rasa hormat kepada guru, den lain sebagainya. Menurut Krathwohl dalam Hasnawati mengatakan bahwa ranah afektif dikelompokan lebih rinci dalam enam jenjang yaitu:
a.       Receiving atau attending ( menerima atau memperhatikan)
b.      Responding (menanggapi)
c.       Valuing (menilai atau menghargai)
d.      Organization ( mengatur atau mengorganisasikan)
e.       Characterization by a value or value complek (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai.[16]


c.    Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman tertentu. Hasil belajar psikomotor sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan afektif. Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila siswa telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan afektifnya.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan indikator keberhasilan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar. Hasil belajar merupakan perubahan yang didapat setelah melakukan kegiatan belajar. Perubahan tersebut berupa perubahan pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap dalam artian meliputi penguasaan terhadap aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Terkait dengan hasil belajar di atas, maka hasil belajar yang dimaksud pada penelitian ini adalah aspek kognitif yang akan diukur dengan tes hasil belajar.
I.       Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, kajian pustaka, dan hasil-hasil penelitian yang relevan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah “Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan model Quantum Learning lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional.”


[1] Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.( Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet.ke-5, h.2
[2] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar.( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), cet.ke-6, h.4
[3] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar.( Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet.ke-11, h.27
[4] Oemar Hamalik, Psikologi ..., h.54

[5] Oemar Hamalik, Proses ..., h.32
[6] Erman Suherman dkk, ..., h.9





[7] Elea Tinggih (1972:5), dikutip dari Erman Suherman dkk, ..., h.18
[8] James dan James (1976), dikutip dari Erman Suherman dkk, ..., h.18
[9] Fajdar Shadiq, Bagaimana Cara Mencapai Tujuan Pembelajaran Matematika di SMK,   (Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional, h.1 (online),
[11] Erman Suherman dkk, ..., h.171
[12] R. Ibrahim dan Nana Syaodih S, Perencanaan Pengajaran. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h.43
[13] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet ke.11, h.31
[14] Hasnawati, Evaluasi Pembelajaran, (Bukittinggi, STAIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi), h.61
[15] Hasnawati,..., h.62
[16] Hasnawati,..., h.69-71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar